dsc_3162

Lebih dari setahun telah berlalu sejak aku melakukan perjalanan ke Nias. Ingin rasanya kembali menginjakkan kaki di Tano Niha*, karena masih banyak sekali tempat-tempat indah yang belum aku kunjungi. Seperti Laut Afulu, Pulau Tello, Pulau Asu, dan lain-lain.

Hei, bahkan aku juga belum mengunjungi Museum Pusaka Nias di Kota Gunungsitoli (alasan)! Sudah pernah ke Nias, tapi belum pernah mengunjungi museumnya? Rasanya kurang afdal dong!

Akhir-akhir ini kenangan tentang Nias kembali terkuak di dalam ingatan karena baru saja aku membeli buku Tanah Para Pendekar yang diterbitkan oleh Gramedia. Sebuah kisah tentang petualangan Elio Modigliani, seorang penjelajah muda dari Italia, di Nias Selatan tahun 1886 karya Vanni Puccioni.

2017-01-05-09-35-34_deco

Aku sendiri belum selesai membaca buku ini, akan tetapi buku ini seakan mengajakku kembali ke waktu itu, saat aku menginjakkan kakiku di tanah Nias. Sebuah perjalanan yang memberikan banyak pelajaran, yang bisa kurangkum sebagai berikut.

  1. Sinyal dengan jaringan internet kuat di pulau ini hanya Telkomsel. Aku yang pengguna XL sama sekali tak bisa menggunakan internet karena ketiadaan sinyal.
  1. Ayam dianggap sakral oleh masyarakat Nias. Di pulau ini, berkendaralah dengan baik meskipun kita tidak akan menemukan lampu lalu lintas hingga penjuru kota. Jangan sampai lengah kemudian menabrak ayam yang sedang berkeliaran di jalan raya ya. Karena jika menabraknya hingga mati, kamu harus ganti rugi 7 turunan.
  1. Hal unik yang juga kutemui selain tak adanya lampu lalu lintas adalah warga Nias tak menggunakan lampu sein pada kendaraan mereka. Mereka hanya mengayunkan tangan atau kaki ke arah mereka akan berbelok. Bahkan, para pengendara mobil juga jarang yang menggunakan seat belt. Takkan ada yang menilang, katanya.
  1. Nias merupakan bagian terdekat dengan zona subduksi antara lempeng Samudera Hindia dengan lempeng Benua Eurasia. Oleh karena itu, gempa adalah hal yang cukup lazim terjadi di pulau ini. Di beberapa daerah di Gunungsitoli, tak jarang aku menemukan beberapa papan arah bertuliskan “tempat evakuasi”.
  1. Jika kita berpelesir ke Nias Utara ataupun Nias Selatan, kita akan melihat bagaimana makam anggota keluarga menghiasi halaman depan rumah penduduk Nias. Hal ini dilakukan karena masyarakat Sumatera Utara (tak hanya Nias) sangat menghormati leluhur mereka.

dsc_0605

  1. Gunungsitoli merupakan kota terbesar dan terluas di Pulau Nias. Sayangnya, transportasi umum yang ada di daerah ini hanyalah sebuah becak motor. Apabila ingin bertolak ke daerah lain di Nias, dapat menggunakan jasa travel berupa mini bus yang banyak ditawarkan di Bandara Binaka maupun di pinggir jalan sepanjang Kota Gunungsitoli.
Becak Medan
Becak Motor
  1. Berbusanalah dengan sopan selama berada di Nias, terutama di Kota Gunungsitoli. Berbusana minim masih dianggap tabu di tempat ini. Kecuali di Nias Selatan yang sudah banyak dikunjungi wisatawan mancanegara.
  1. Tinggal di Nias akan sangat menyenangkan bagi pecinta laut. Karena kemanapun kita pergi, pasti akan bertemu dengan laut. Bahkan, di Gunungsitoli pun terdapat sebuah laut, yang saat kutanya pada adikku nama laut tersebut ia hanya menjawab Laut Nias. Dan maafkan jika hingga kini aku bahkan tidak tahu nama laut tersebut, hehe. Jangan membayangkan laut di Gunungsitoli seindah di Tureloto atau Baloho ya. Karena sangat disayangkan, masyarakat di sana masih kurang memperhatikan kebersihan lingkungan dan terbiasa membuang sampah di tepi laut sehingga terlihat kotor. Kalau kamu jajan-jajan cantik di pinggir laut ini, jangan lupa bawa kembali sampahnya dan jangan dibuang ke laut ya.

dsc_3130

  1. Jika ingin melihat Fahombo secara langsung, akan lebih baik jika kamu membawa seorang teman yang berasal dari Nias. Ketika rombongan kami tiba di Desa Bawomataluo, seorang lelaki paruh baya mendatangi kami dan langsung mematok harga Rp 400,000,- untuk melihat atraksi Fahombo. Untung saja, salah satu teman adikku menikah dengan wanita yang berasal dari suku Nias dan dikenal di desa ini, sehingga kami hanya diminta membayar Rp 300,000,-.
  1. Jika ingin kembali dari Teluk Dalam menuju ke Kota Gunung Sitoli, sebaiknya jangan terlalu malam. Akan lebih baik bermalam di penginapan di sekitar Pantai Lagundri dan Sorake atau menghabiskan malam di Baloho Resort. Waktu itu kami pulang sekitar pukul 19:00 dari Pantai Baloho dan ketika melewati sebuah desa, adikku menyetir dengan sangat kencang. Ia bercerita bahwa pendatang yang melewati daerah tersebut dengan mobil pada malam hari seringkali dijarah. Jadi, berhati-hatilah ketika berkunjung ke Teluk Dalam.

 


*Tano Niha = tanah Nias

Recommended Posts