Taman Negara Pulau Pinang terletak di Teluk Bahang. Tepatnya, sudut barat laut Penang dan menghadap Selat Malaka. Bagi penyuka kegiatan outdoor, taman nasional ini bisa jadi pilihan tempat berlibur. Selain lokasinya mudah ditempuh, ia juga menyajikan keindahan hutan, pantai, dan keanekaragaman fauna. Tak ketinggalan juga konservasi penyu.

Taman Negara Pulau Pinang memiliki luas sekitar 2,563 hektar. Dari George Town, Merin dan aku menaiki Rapid Penang 102. Dengan waktu tempuh kurang dari satu jam, kami tiba di taman nasional ini. Ongkos yang dibayarkan juga sangat terjangkau. Hanya 3.5 RM.

Setibanya, Merin dan aku mendaftarkan diri di Registration & Information Center. Kemudian kami diberikan peta. Hanya satu jalur trekking menuju Pantai Kerachut yang dibuka hari itu. Jalur lain melewati Canopy Walkway ditutup sementara. Begitu juga dengan jalur menuju Rumah Api Muka Head. Atau yang kita kenal dengan mercusuar.

Selain trekking, kita juga bisa menaiki perahu menuju Pantai Kerachut. Trekking tidak dipungut biaya. Sedangkan menaiki perahu berbayar. Biayanya sekitar 40 hingga 50 RM. Lalu, pilihan Merin dan aku? Tentu saja trekking. Hahaha.

Pada tahun 1940, jalur menuju Pantai Kerachut juga digunakan masyarakat dan imigran Aceh untuk mengambil kayu. Kayu tersebut digunakan untuk membangun rumah. Dan juga untuk membuat perahu. Kayu ditarik oleh kerbau menuju area terbuka. Meninggalkan bekas pada jalur berupa parit. Karena itulah, jalur ini disebut Jalan Penarikan.

Di tengah perjalanan, langkah kakiku terhenti. Sebuah papan bertuliskan JUNGLE ORCHESTRA menarik perhatian.

Membacanya, aku berdiam diri sejenak. Menutup rapat kedua mata. Menarik napas panjang. Menenggelamkan diri dalam riuhnya melodi hutan. Kicauan burung, suara katak, dan nyanyian jangkrik. Sahut-menyahut dengan desiran angin. Sungguh sebuah melodi yang menakjubkan!

Sembari melanjutkan perjalanan, pikiranku sempat melayang. Kata penutup film berjudul Racing Exctinction melintas. Berdurasi sekitar 1.5 jam, film ini bercerita tentang kepunahan massal bersifat antropogenik. Yang didokumentasikan oleh para ilmuwan dan jurnalis.

“The whole world is singing…. But we’ve stopped listening.”

“Hello!” Sebuah suara memecah lamunanku.

“Oh, hello!” Balasku.

“I am waiting for my friends. They are walking behind me. Anyway, I live here, in Penang. Where are you from?”

“We are from Indonesia.” Jawabku, lagi.

Merin dan aku beristirahat sejenak. Berbincang dengan kakek berusia 72 tahun ini. Memperkenalkan diri masing-masing. Seraya menemaninya menunggu keempat temannya.

“So, you’re a Christian and come from Sumatera?” Kakek menanyakan ulang perkataanku dengan hati-hati. “And, you’re Moslem and come from Java?” Tanyanya juga pada Merin.

Merin dan aku tersenyum. “Yes,” Jawab kami.

“Oh wow, how come? Are you a high school friend? Because you’re coming from different backgrounds. Which in my opinion is rare to find here.”

“Oh, really? We’re not high school friend.” Merin menjawab. Dengan singkat, ia menceritakan bagaimana kami bisa berteman.

“Wow, that’s nice! I hope you can keep it up! Humanity above religion, huh? Hahaha.” Merin dan aku ikut tersenyum. Tak lama, keempat teman kakek datang. Ia kemudian mengenalkan kami dengan mereka. Lalu mengabadikan foto bersama.

“Young ladies, you can go ahead. We’re gonna rest here.” Mendengarnya, Merin dan aku permisi. Lalu kembali berjalan menuju Pantai Kerachut.

Selain keindahan pasir putihnya, Kerachut memiliki beberapa keunikan. Pantai ini merupakan tempat bertelurnya penyu. Bukan hanya itu saja, ia juga memiliki Danau Meromiktik.

Danau Meromiktik memiliki 2 lapisan air. Yaitu, air tawar dan asin yang tidak bercampur. Konon danau ini hanya satu-satunya di Malaysia. Dan, hanya terjadi saat monsun. Yaitu bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November. Selama periode ini, angin kencang dan ombak yang kuat menyebabkan air laut membanjiri danau. Sehingga danau dipenuhi dengan air laut dan air tawar. Sedangkan di musim kemarau, danau terlihat kering. Yang ada hanyalah rerumputan dan lumpur.

“Baliknya naik boat aja mau enggak?” Tanya Merin.

“Oke, tapi gue ke ujung dulu ya. Mau lihat ada apaan di sana.”

Aku menjejakkan kaki ke ujung Pantai Kerachut. Berharap bisa melihat konservasi penyu. Merin yang sempat ragu bisa menemukan tempat ini, akhirnya setuju. Mengingat ia pernah membaca artikel tempat ini sempat ditutup.

Dan ternyata, kami menemukannya. Yaay! Terdapat beberapa ekor tukik di pusat konservasi. Ada juga spesies Penyu Agar serta Penyu Karah. Informasi karakteristik biologis penyu juga terpajang di tembok. Bersama dengan beberapa artikel media cetak. Dan, jenis-jenis penyu yang bisa ditemukan di Malaysia. Seperti Penyu Belimbing, Penyu Agar, Penyu Karah, dan Penyu Lipas.

Saat itu, sedang tidak ada petugas yang berjaga di sana. Setelah puas mengamati para penyu, Merin dan aku berjalan ke dermaga. Kami hendak menyeberang dengan perahu. Menuju Pantai Monyet. Tawar-menawar terjadi. Kami mendapatkan harga 40 RM untuk ke Pantai Monyet. Dan, tambahan 40 RM lagi untuk diantarkan kembali ke pintu masuk taman nasional.

Meski memiliki hamparan pasir putih, pantai ini terbilang sepi. Warung-warung penjaja makanan tidak buka. Dan, pengunjung pun hanya segelintir orang. Aku pun tidak tahu kenapa. Yang kulihat, beberapa sudah diantarkan menyeberang. Entah menuju pintu keluar atau Pantai Kerachut.

Sementara menunggu Merin menunaikan solat, aku bermain ayunan. Yang tergantung di pinggir pantai. Membenamkan kaki di pasir dan mendengarkan deburan ombak. Berkejar-kejaran di bibir pantai.

Usai solat, Merin kembali. Selang lima belas menit, kami memutuskan untuk pulang.

Tanpa sengaja, kami bertemu kembali dengan rombongan kakek di pusat informasi. Mereka menawarkan makan siang bersama. Karena belum memiliki rencana lagi hari itu, kami pun mengiyakan. Seru sekali mendengarkan pengalaman mereka. Serta, cerita-cerita unik mengenai Penang.

Recommended Posts