MUSEUM KUPANG
Pic Source

Sepintas, sebuah bangunan besar di tengah kota dengan halaman yang cukup luas menarik perhatianku. Sungguh berbanding terbalik dengan bangunan-bangunan yang dibangun ‘ala kadarnya’ yang kulewati sepanjang jalan. Dua buah patung komodo yang berada di sisi kanan dan kiri atas gapura seakan menyambut kedatanganku yang berpeluh karena teriknya mentari yang begitu menyengat. Ah benar saja, ternyata bangunan tersebut adalah Museum Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT).

Museum ini terletak di Jalan Raya El Tari II no. 52, hanya berjarak 4 kilometer atau sekitar 10 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan dari Bandara Internasional El Tari, Kupang.

Berdasarkan informasi dari Kak Vero, pemandu di Museum Daerah NTT, bangunan ini didirikan pada tahun 1978 dan ditetapkan sebagai Museum Negeri pada tahun 1991. Namun, dengan terbentuknya otonomi daerah, status museum ini berubah menjadi Museum Daerah NTT.

DCIM102GOPROGOPR8764.
Lobi Museum Daerah NTT

Hanya dengan membayar tiket masuk tiga ribu rupiah, aku bisa menjelajahi setiap sudut museum ini hingga puas. Harga yang sangat terjangkau bukan?

Museum Daerah NTT terdiri dari ruang pameran tetap, ruang pameran temporer, ruang serba guna, dan perpustakaan. Adapula gudang sebagai tempat menyimpan benda-benda yang akan dipamerkan namun masih dalam penelitian.

Memasuki ruang pameran, aku disuguhkan oleh peta penyebaran 26 suku bangsa yang mendiami Nusa Tenggara Timur. Ke-26 suku ini adalah Bajawa, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka Krowe, Sikka, Krowe, Lamaholot, Kedang, Alor, Palue, Kemak, Marae, Tetun, Dawan, Helong, Rote, Sabu, Sumba, Komodo, Manggarai, Riung, Pura, Pantar, Raijua, dan Ndao. Suku-suku ini bermukim di kabupaten yang berbeda dan memiliki kebudayaan dengan ciri khas masing-masing.

DCIM102GOPROGOPR8710.

Museum ini memiliki beragam jenis koleksi. Mulai dari koleksi arkeologika, biologika, etnografika, historika, numismatika, dan lain-lainnya yang erat hubungannya dengan budaya dan sejarah Nusa Tenggara Timur yang beraneka ragam.

P_20170818_125821_vHDR_Auto
Koleksi Arkeologika; replika tengkorak Homo floresiensis

Fosil Homo floresiensis yang ditemukan di Desa Liang Bua, Kecamatan Cancar, Kabupaten Manggarai. Dari hasil kajian para ahli, Homo floresiensis diduga merupakan manusia kerdil dan berusia sekitar 95.000 hingga 11.000 tahun yang lalu.

DCIM102GOPROGOPR8727.
Koleksi Historika; replika Kapal Eropa yang datang di Pulau Timor

DCIM102GOPROGOPR8738.
Koleksi Historika; Kolonialisme Jepang di NTT

P_20170818_133501_vHDR_Auto
Koleksi Numismatika; 3 jenis mata uang yang berlaku setelah kemerdekaan RI

Setelah memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah belum mampu mengeluarkan mata uangnya sendiri. Untuk sementara waktu, diberlakukanlah 3 jenis mata uang di seluruh wilayah Indonesia, yaitu uang De Javasche Bank, uang Pemerintah Hindia Belanda, dan uang Pendudukan Jepang. Beredarnya ketiga mata uang tersebut menyebabkan situasi keuangan carut-marut. Oleh karena itu, pada tanggal 30 Oktober 1946, diterbitkanlah uang kertas ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) sehingga harga barang kebutuhan berangsur normal.

 


P_20170818_133634_vHDR_Auto
Koleksi Etnografika; kain tenun, baju tradisional

Kain tenun merupakan hasil kerajinan tangan kaum wanita NTT yang terbuat dari benang kapas (Gossypium). Bahan pewarna yang digunakan terbuat dari bahan alami dan sintetis. Pewarna alami umumnya diperoleh dari tumbuhan seperti mengkudu, tarum, loba, kunyit, lumpur, dan kemiri.

Ada berbagai macam teknik yang digunakan untuk membuat kain tenun, seperti teknik ikat lungsi, ikat pakan, dan songket. Masing-masing teknik ini memiliki ciri khas dan membutuhkan rentang waktu yang berbeda-beda dalam proses pengerjaannya.

Motif yang terdapat pada kain tenun melambangkan mitologi dan kepercayaan masyarakat NTT. Dalam kehidupan masyarakat tradisional, kain tenun digunakan sebagai pakaian harian, pakaian upacara adat atau keagamaan, mas kawin, pembungkus jenazah, dan lain-lain. Namun dewasa ini, fungsi kain tenun lebih diutamakan pada kebutuhan pasar sehingga nilai religius yang terkandung di dalamnya tidak lagi diperhitungkan.

New Doc 2017-09-03 (3)

P_20170818_135922_vHDR_Auto
Koleksi keramonologi & seni musik

Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi kepulauan yang memiliki laut yang strategis. Provinsi ini berada di persimpangan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sehingga menjadikannya koridor migrasi bagi 18 jenis paus.

Di ruang pameran bagian belakang, terdapat sebuah rangka Paus Biru yang terdampar di Pantai Oeba pada tanggal 4 Oktober 1972. Rangka ini memiliki panjang kurang lebih 25 meter dengan lebar 4 meter.

DCIM102GOPROGOPR8755.
Koleksi Biologika; Rangka Paus Biru

Di ruangan ini juga diperkenalkan sebuah tradisi perburuan paus di Desa Lamalera yang terletak di bagian selatan Kabupaten Lembata, Pulau Flores. Tradisi ini hampir setiap tahun dilaksanakan antara bulan Mei hingga November.

Sebelum melakukan perburuan, ada sebuah ritual adat dan misa yang harus dilakukan. Ritual ini dinamakan “Lefa” dan biasa diselenggarakan pada tanggal 1 Mei. Untuk berburu paus di Lembata, masyarakat hanya menggunakan alat sederhana yaitu “Paledang” dan “Tempuling”. Paledang ialah perahu kayu yang dirancang khusus oleh “Atamola” dengan bentuk terbuka agar lebih leluasa memantau buruan. Sedangkan tempuling ialah tombak yang diikatkan pada tali panjang, ditambah dengan bambu sepanjang 4 meter sebagai alat bantu tikam. Sebuah paledang biasanya memuat 7 orang yang di dalamnya terdapat juru tikam yang disebut “Lamafa” atau “Balafaing”.

DCIM102GOPROGOPR8760.
Replika Paledang & Tempuling

Perburuan paus ini memang menuai banyak kontroversi mengingat populasi paus yang semakin berkurang di lautan. Namun, demi mempertahankan warisan budaya leluhur, hingga kini masyarakat Lamalera masih terus memegang teguh tradisi ini.

Recommended Posts