dsc01301
Tektok Team : kalau ragu pulang saja!

Perasaan rindu untuk mendaki gunung semakin sering muncul akhir-akhir ini. Iya, entah mengapa sulit sekali untuk membendungnya. Bahkan rasanya melebihi rindu akan sang mantan. Ya ampun, mantan lagi! Hahaha. Semenjak cedera tulang belakang setahun yang lalu, aku kerap kali mengutarakan hal ini kepada teman-temanku.

“Gue kangen nanjak.. Kangen banget!” :'(

Beberapa teman memberi saran untuk mendaki Gunung Lembu yang berada di Purwakarta, dengan pertimbangan waktu pendakian hanya dua hingga tiga jam dan jalurnya pun (sedikit) manusiawi. Namun, aku ragu. Perjalanan ke Gunung Lembu bulan Februari setahun yang lalu masih begitu membekas di ingatanku.

***

Malam telah menjemput. Hujan yang cukup deras menemani pendakian tektok kami ke gunung ketiga hari itu, yaitu Gunung Lembu. Pendakian ke Gunung Lembu hanya diikuti oleh 9 orang anggota Tektok Team, sedangkan yang lain lebih memilih untuk beristirahat setelah menyelesaikan pendakian ke Gunung Parang dan Gunung Bongkok di hari yang sama. Adapula beberapa anggota yang tidak ingin lagi mendaki gunung ini dengan alasan malas karena hujan dan hari sudah larut.

img-20160215-wa0034

Jarum jam berhenti di angka delapan. Kami segera memulai pendakian dengan berbekal jas hujan dan daypack yang hanya berisi air. Tak perlu membawa survive lite, karena kami akan segera turun kembali ke basecamp apabila telah menikmati keindahan puncak Lembu.

Jalur pendakian Gunung Lembu didominasi oleh hutan bambu. Kebayang kan gimana rasanya berjalan melewati hutan bambu di malam hari?

Kami baru saja melewati jalur tersebut. Dan di sebelah kiri, terdapat petilasan keramat Mbah Jongrang Kalipitung yang kemudian disambut oleh jalan setapak yang di bagian kanan dan kirinya jurang. Tiba-tiba, aku mendengar suara tawa seorang perempuan yang berbunyi begitu nyaring, “Hihihihihihi…”

Aku terdiam. Mulutku bungkam.

Ijal, Uni Iis, dan Uni Didy telah berjalan jauh di depan. Dengan mengumpulkan sedikit keberanian, aku menoleh ke belakang. Tak ada seorangpun di sana. Jarak antara aku dan teman yang berada di belakangku cukup jauh.

Aku mencoba menenangkan diri, sembari mempercepat langkah, menyusul ketiga temanku yang berada jauh di depan. Aku bahkan berupaya menghibur diri, berpikir positif bahwa suara itu berasal dari warung. Ya, menurut informasi dari teman-teman, terdapat sebuah warung di Gunung Lembu. Baiklah, mari kita anggap itu adalah suara tawa perempuan yang sebaya denganku. Begitu terus yang kupikirkan hingga akhirnya aku berhasil menyusul ketiga temanku yang berada di depan.

img-20160215-wa0038
Puncak Gunung Lembu

Sekitar dua jam kemudian, kami berhasil tiba di Puncak Lembu. Bentuknya landai dan lumayan licin. Di sini, kami beristirahat sejenak sembari menikmati gemerlapnya cahaya lampu dari Waduk Jatiluhur. Kami berfoto dan bercengkerama, kemudian segera bertolak menuju warung yang kerap kali dibicarakan oleh teman-temanku.

“Eh? Warungnya di sini toh…”

Di luar dugaan, bibirku berucap demikian. Beberapa temanku menoleh dan bertanya ada apa, namun aku hanya menggeleng, mengisyaratkan tak ada apa-apa, walaupun sebenarnya ada apa-apa.

Aku memesan segelas teh hangat guna menghangatkan tubuhku yang mulai menggigil diterpa hujan dan angin malam. Tentu saja sambil berharap dengan menghirup aroma teh, perasaanku bisa lebih tenang.

Setelah menyesap teh tersebut, aku dan teman-teman melanjutkan perjalanan untuk kembali ke basecamp. Petilasan Mbah Jongrang Kalipitung telah kami lewati, namun tiba-tiba, Bang Ham selaku kapten tim menyuruh kami berjalan lebih cepat. Aku sudah mengerti artinya, karena itulah aku hanya berjuang melangkahkan kaki lebih cepat. Ya, ada ‘sesuatu’ yang sedang mengikuti kami. Katanya, wujudnya adalah seorang kakek. Entahlah, bersyukur sekali aku tak dapat melihatnya.

Melewati hutan bambu, lagi-lagi ada yang mencoba mengusikku. Entah bagaimana, formasi seperti terulang kembali bagaikan deja vu. Aku berjalan seorang diri, di depanku Incess sedang menggelosor menikmati tanah becek dan licin jalur Lembu, sedangkan teman di belakangku tak terlihat batang hidungnya.

“Sstt sstt sstt…”

Aku mendengar suara seperti ada yang memanggil. Lagi, aku mengumpulkan keberanian untuk menoleh sedikit, tanpa menggerakkan headlamp yang bertengger di atas kepalaku. Daun-daun yang berada di pohon sedang bergemerisik sambil bergoyang. Tapi, hanya pada satu sisi, karena di sisi lain tak ada ranting maupun daun yang bergoyang. Angin pun sedang tak bertiup.

Aku semakin mempercepat langkah mengejar Incess yang berada di depan. Sungguh, ini pengalaman mengerikan kedua setelah Gunung Semeru yang aku temui saat mendaki. Setibanya di basecamp, Incess segera membuka suara mengenai apa yang dilihatnya tadi. Ternyata tak hanya aku, melainkan kedelapan anggota tim yang lain mengalami hal tersebut saat melewati hutan bambu. Dan hal lain yang tak disangka-sangka, ternyata alasan beberapa teman tidak ingin lagi mendaki gunung ini dalam keadaan gelap dan hujan, adalah karena aura mistisnya.

 


Foto : dokumentasi Tektok Team

Recommended Posts