Processed with VSCOcam

Aku rindu Prau! Sungguh! Padanya, kusimpan beberapa kenangan haru dan konyol bersama dengan timku, dua tahun yang lalu.

Akhir Oktober 2014, aku dan tim berencana melakukan pendakian ke Gunung Prau. Seluruh perlengkapan, logistik, dan tentu saja fisik yang prima telah kami persiapkan.

Jumat malam itu, aku telah bersiap-siap menuju Stasiun Kebayoran Lama untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Pasar Senen sebagai meeting point kami. Karena hari itu adalah akhir bulan, aku harus membuat laporan keuangan dan melaporkannya pada atasan. Ternyata salah satu dokumen terbawa oleh rekan kerja, sehingga perhitunganku salah dan waktuku tersita lebih dari satu jam demi mencari dokumen tersebut. Aku yang awalnya merencanakan berangkat pukul 18:00 dari kantor, akhirnya berangkat pukul 19:00. Padahal, kereta menuju Purwokerto dijadwalkan berangkat pukul 21:00.

Hatiku begitu resah. Pendakian ke Gunung Prau ini sudah sejak lama kutunggu, tapi entah mengapa aku tak yakin bisa tiba tepat waktu di Stasiun Pasar Senen.

Benar saja, aku terlambat dan kereta telah berangkat sepuluh menit yang lalu. Lututku lemas! Kesal rasanya. Ingin marah, tapi rasanya percuma karena toh aku sudah tertinggal kereta. Andai saja dokumen tersebut tak terbawa rekan kerjaku, aku pasti bisa berangkat lebih awal.

Dua bulan kemudian, pertengahan Desember 2014, aku kembali merencanakan pendakian ke Gunung Prau. Kali ini dengan tim yang berbeda. Tak ada lagi cerita mengenai aku ketinggalan kereta, karena kami berangkat menuju Wonosobo dengan menggunakan bus.

Lagi, tim yang berjumlah 5 orang berangkat di hari Jumat. Karena meeting point di Terminal Grogol pukul 17:30, aku izin pulang 15 menit lebih awal agar bisa berangkat bersama dengan Kristian dan Mbak Mariyani yang bekerja di gedung perkantoran yang sama denganku.  Saat memohon izin, sang atasan memutuskan untuk memotong cutiku setengah hari agar yang lain tak iri hati katanya. Mau tak mau aku harus merelakan cutiku. Duh!

Setelah tiba di Terminal Grogol, kami segera naik bus menuju Wonosobo dan tiba pukul 06:30 keesokan harinya. Tiba di Wonosobo, kami melanjutkan perjalanan dengan bus kecil menuju Dieng. Awalnya kami berencana melakukan pendakian lintas jalur Patak Banteng – Dieng Wetan. Namun karena adanya longsor di jalur Patak Banteng, akhirnya kami memutuskan untuk pulang pergi lewat jalur Dieng Wetan.

Sebelum melakukan pendakian, kami singgah sebentar di Batu Ratapan Angin dan Telaga Warna.

Karena 2 orang dari anggota tim terlalu santai, pendakian yang direncanakan dimulai pukul 15:00, mundur menjadi pukul 16:30. Alhasil, kami harus tetap melanjutkan perjalanan meskipun hari telah berganti menjadi malam yang berselimut kabut. Jujur, aku sangat khawatir akan satu hal. Tak satupun dari kami tahu jalur menuju Puncak Prau!

img-20141217-wa0007
Menjelang malam, Prau berselimut kabut

Kondisi hutan yang gelap serta pohon yang terlihat sama dan menjulang di segala sisi membuat kami bingung kemana harus berjalan. Entah mengapa kami merasa seperti kembali lagi dan berputar-putar di tempat yang sama. Karena itu, kami berusaha mencari petunjuk arah atau tanda berupa pita atau mungkin goresan pisau di pohon. Berharap semoga ada pendaki yang pernah meninggalkan jejak di tempat ini. Namun, tak satu pun petunjuk kami temukan.

Selang beberapa waktu, tiba-tiba kami mendegar suara orang sedang bercengkerama. Ternyata mereka adalah dua ranger Gunung Prau yang juga hendak menuju puncak. Yeay, beruntung sekali bisa bertemu dengan mereka dalam keadaan seperti ini. Thanks God!

Tiba di camping ground, angin berhembus dengan kencang. Camping ground ini merupakan puncak Gunung Prau, dimana bentuknya seperti sabana rumput yang menghampar luas. Tak ada satupun pohon di sana, sehingga takkan ada yang bisa menghalangi tiupan angin yang menusuk tulang. Aku dan Dessy yang tengah kedinginan, segera menyalakan kompor dan memasak air panas untuk menyeduh teh. Sedangkan Kristian dan Bang Victor berusaha membangun tenda, dibantu oleh kedua ranger.

Tenda telah berdiri dengan sempurna. Kami menyantap makan malam dan segera tidur untuk memulihkan fisik kami yang cukup lelah. Tak lupa, berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar esok diberikan pagi yang cerah sehingga bisa menyaksikan golden sunrise Gunung Prau.

Pagi menjelang. Kami beranjak dari balutan sleeping bag, keluar tenda, sambil berusaha menahan dinginnya Puncak Prau pagi itu dengan mengenakan jaket windproof. Tampaknya kami kurang beruntung. Awan gelap menyelimuti Prau, dan kabut yang menyelimuti turun berupa tetesan air.

dsc_0486
View Puncak Prau; Sindoro dan Sumbing

“Yah gagal dapet sunrise deh kita,” tutur Mbak Mariyani yang terlihat sedikit kecewa, namun tetap berfoto dengan latar Sindoro dan Sumbing yang berwarna pekat.

Dessy menyerah dan memilih untuk menyiapkan sarapan bagi kami. Tiba-tiba tetesan air yang turun bergemuruh dan berganti menjadi badai, sehingga mau tak mau kami harus memasak di dalam tenda dengan menggunakan kompor parafin. Aku menyusul Dessy ke dalam tenda, kemudian membantunya memasak.

“Awas, jangan sampe kesenggol. Ngeri nih parafin.” kataku.

Tak lama, Mbak Mariyani masuk ke dalam tenda dan tanpa sengaja menyenggol kompor parafin. Api merambat. Dessy dan Mbak Mariyani panik. Aku segera mengambil botol aqua dan mengguyur api yang mulai merayap di tenda. Beruntung, kedua ranger yang berjalan bersama kami semalam, mendirikan tenda dekat kami. Dengan sigap, mereka membantu kami memadamkan api dengan menyiramkan air dan menutup kobaran api dengan kain. Berkat bantuan mereka, api segera padam. Terima kasih ranger kece!

Peristiwa itu menyebabkan tenda bagian bawah bolong cukup besar. Duh, mana itu tenda sewaan. Mau nangis rasanya. Tak hanya itu saja, kebakaran itu juga menyebabkan trauma pada chef tim, Dessy, sehingga aku harus melanjutkan memasak demi mengisi perut kami yang sudah mulai keroncongan. Badai yang masih bergemuruh menuntutku untuk tetap memasak di dalam tenda, namun dengan menggunakan kompor mini portable yang dipinjamkan oleh para ranger.

Seusai menyantap sarapan pagi, kami  membereskan segalanya, termasuk sampah, dan segera packing untuk turun kembali ke basecamp. Hingga Bukit Teletubbies, kami masih berjalan bersama. Mas Hari, salah satu dari ranger Prau menuntun kami selama perjalanan pulang. Namun setelah melewati bukit tersebut, kami terpisah. Aku dan Dessy berjalan cepat, berusaha menyamakan langkah kaki dengan Mas Hari. Sedangkan Kristian, Mbak Mariyani, dan Bang Victor berjalan jauh di belakang kami.

2015-06-07-17-02-20_deco-01
Photo by Dessy; Aku & Dessy selalu gemas kalau lihat sampah terutama plastik di gunung, jadi biasanya kita pungut bareng 😀

Karena kehilangan jejak mereka, kami memohon kepada Mas Hari untuk menunggu. Akan tetapi, bawaan berupa tenda yang memenuhi pundak kanan dan kiri membuatnya harus melanjutkan perjalanan. Karena jika berhenti, akan membuat beban di pundak semakin terasa dan ia juga tak ingin kehilangan irama mendakinya. Aku dan Dessy memutuskan untuk tetap mengikuti langkah kaki Mas Hari, dengan pertimbangan jika menunggu hanya berdua, kami khawatir akan kehilangan jejak keduanya, Mas Hari dan ketiga teman kami. Ditambah kondisi Prau yang licin, penuh lumpur, dan beberapa titik longsor yang disebabkan badai yang menerjang Prau akhir-akhir ini.

dsc_0496

Aku dan Dessy tiba di basecamp kurang lebih pukul 13:00, sedangkan ketiga teman kami tiba pukul 15:30. Benar dugaan kami, mereka tersesat karena sibuk mencari objek foto, sehingga tanpa sadar mereka berjalan di jalur yang salah dan masuk ke hutan yang lebih dalam. Beruntung, jalur yang dilewati buntu, sehingga mereka memutuskan untuk kembali, dan akhirnya menemukan jalur yang benar.

Setelah istirahat sejenak, bebersih diri, dan mengisi perut yang kosong, kami segera naik bus kecil menuju Wonosobo, dan pulang kembali ke Jakarta dengan menggunakan bus. Terima kasih, Prau! See you, Wonosobo!

Recommended Posts