This image has an empty alt attribute; its file name is lisafrc.com-Merbabu-dan-Tektok-Team-Gesrek-1-1024x768.jpg

 

Our family is a circle of strength and love. With every birth and every union the circle of love grows. Every crisis faced together make the circle stronger.”

-Unknown-

Katanya, seindah apapun gunungnya, kalau teman 1 tim nggak enak, perjalanan juga jadi nggak menyenangkan. Gimana menurut kalian? Kalau aku sih sangat setuju. Buktinya aku pernah naik gunung yang sama, tapi rasanya berbeda. Lebih menyenangkan. Apalagi kali kedua mendaki gunung ini, aku bersama dengan keluarga keduaku. Tektok Team.

***

“Wah kita salah jalur nih, harusnya jalur yang tadi. Yang ini buntu.” Kata Bang Maman, team leader pendakian tektok Merbabu yang biasa kami panggil Bapak TL, sambil menyeringai dan menggaruk kepalanya.

“Lah? Hahaha. Ya udah, balik lagi dah. Eh tapi, foto dulu yuk.” Sahut salah satu dari kami.

Beginilah cerita pendakian tektokku dengan Tektok Team Gesrek dimulai. Kami menyebutnya demikian karena pendakian ini beranggotakan 8 laki-laki “gesrek” dan 4 perempuan yang terlalu banyak tertawa hingga rahang hampir lepas karena kekonyolan kedelapan laki-laki ini. Buktinya sudah tersasarpun, kami tetap tertawa. Tak lantas ngedumel dalam hati dan menyalahkan team leader kami. Bukankah seharusnya kita bersyukur punya teman yang mau repot-repot menjadi team leader dalam sebuah pendakian? Oh ralat, bukan hanya team leader, tapi juga tim medis dan sweeper. Sungguh beruntungnya kami!

Kami kemudian memutar balik ke jalur yang benar, lalu melanjutkan perjalanan. Jalur yang dipilih untuk pendakian Gunung Merbabu adalah lintas Suwanting – Selo, karena kami berencana untuk tektok 2M (Merbabu Merapi).

Sebelum pendakian dimulai, kami melakukan briefing bersama petugas Basecamp Suwanting yang memberikan wejangan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan selama pendakian. Terutama karena kami akan melakukan pendakian dengan cara tektok, mendaki hingga puncak, kemudian segera turun kembali ke basecamp tanpa menginap.

Briefing dulu yuk 😀

Usai menyimak penjelasan petugas dengan saksama, perjalanan pun dimulai. Ladang-ladang milik warga Desa Suwanting yang terletak di Magelang ini, menjadi titik awal pendakian kami.

Basecamp Suwanting

 

Di antara ladang milik warga Desa Suwanting

Jalur awal pendakian belum begitu menanjak, cukup lumayan untuk pemanasan. Pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi sebelum Pos 1 memberikan kesejukan tersendiri, meskipun matahari sedang bersinar dengan terik.

Melewati Pos 1, jalur semakin berat. Perjalanan terus dilanjutkan meski terkadang lelah dan dahaga menuntut kami untuk rihat sejenak. Ternyata benar informasi yang kami dengar, jalur pendakian Suwanting sungguh menguras tenaga. Duh, jalur ini kok isinya tanjakan semua ya? Kok nggak ada bonusnya ya? Hiks.

Lembah Ngrijan

 

Trek selepas Lembah Ngrijan

 

Lembah Mitoh

 

Hutan Manding (hutan mati)

 

Pos Air

Dalam perjalanan menuju Pos 3, kami berhenti sejenak di Sendang Dampo Awang yang merupakan sumber air di jalur Suwanting. Kami mengisi perbekalan air, kemudian kembali memacu langkah-langkah kecil kami menapaki jalur yang semakin menanjak.

Setelah berjalan kurang lebih 6 jam dengan jalur yang didominasi oleh hutan pinus, hutan mati, serta vegetasi rimbun dan menanjak, kami tertegun melihat pemandangan yang tersaji di depan mata kami. Gunung Merapi! Ia berdiri begitu gagah, seolah menyapa kami di bawah rona jingga cakrawala.

Hari semakin gelap. Angin yang berhembus dengan kencang membuat kami bergidik. Kami berhenti sebentar untuk menyiapkan jaket windproof, sarung tangan, dan headlamp sebagai penerang jalan. Selain itu, kami harus mendiskusikan satu hal penting, yaitu tetap melanjutkan misi tektok 2M sesuai dengan tujuan awal atau terpaksa menggugurkan keinginan tektok Merapi dikarenakan waktu yang sangat terbatas.

Perhitungan waktu yang kami gunakan untuk tektok 2M kali ini meleset cukup jauh. Oh, bahkan tak bisa dikatakan meleset karena kami tidak melakukan riset berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendaki melalui jalur Suwanting. Pendakian kali ini hanya berbekal itinerary tektok 2M setahun sebelumnya melalui lintas jalur Wekas – Selo. Tapi ternyata, pendakian melalui jalur Suwanting dua kali lebih panjang dan lebih menantang. Jelas saja jika membutuhkan waktu pendakian yang lebih lama.

Belum lagi, kereta kami akan bertolak dari Jogja menuju Jakarta jam 2 siang. Sedangkan kini waktu menunjukkan tepat pukul 8 malam. Ada tiga puncak Merbabu yang belum kami raih, ditambah perkiraan waktu untuk turun ke Basecamp Selo sekitar 4-6 jam. Hei, bahkan perjalanan dari Basecamp Selo, Boyolali, menuju Jogja juga membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam. Aaargh, bagaimana ini?!

“Jadi, gimana nih guys?” Bang Maman membuka suara.

“Kemungkinan tektok 2M kita berubah haluan.” Lanjutnya sambil terkekeh.

“Hah? Berubah haluan kemana, Bang?” tanya kami.

“Tetep 2M kok. Merbabu Malioboro.”

Mendengar jawabannya, spontan kami tertawa mengingat semua kejadian konyol di gunung ini. Ya ampuuun, kok bisa-bisanya mendaki via Suwanting berbekal itinerary via Wekas? Mana tadi tersasar di awal pendakian. Ditambah, tektok 2M berubah haluan menjadi Merbabu Malioboro.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan setelah semua sepakat untuk melihat berapa lama waktu yang tersisa setelah tiba di Basecamp Selo. Jika cukup, ada kemungkinan kami melanjutkan tektok Merapi. Namun jika tidak cukup, ya pasrah saja. Hahaha.

Sekitar 1 jam kemudian, kami tiba di Puncak Suwanting. Peluh selama menapaki jalur Merbabu rasanya sedikit terbayar saat berada di sini.

Puncak Suwanting

Usai mengabadikan beberapa foto, kami kembali melangkahkan kaki menuju Puncak Trianggulasi. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kami mendengar sebuah suara. Kami terdiam. Tubuh kami menegang dan jantung pun berdegup begitu cepat, seakan memburu kami.

Suara apa itu?

Langkah kaki terasa semakin berat. Namun, kami terus memaksakan diri untuk berjalan lebih cepat.

Lagi, suara itu terdengar. Begitu jelas. Ia seakan mengikuti langkah-langkah kecil kami. Tenggorokan kami seakan tercekat. Beberapa kali kami melirik ke arah rerumputan yang berada di sisi kiri, takut jika si pemilik suara tiba-tiba memperlihatkan wujudnya.

Kami terus berjalan. Setelah dirasa agak jauh, barulah salah satu dari kami membuka suara.

“Denger nggak tadi?” Karey setengah berbisik pada Mahmud.

“Iya, denger. Kayak suara… macan?” jawab Mahmud hati-hati sambil menelan ludah yang terasa pahit karena berselimut panik.

Tak ada yang berniat meneruskan pembicaraan ini, semua kembali hening. Pikiran kami berkecamuk. Berbagai tanya menyeruak dalam kepala. Suara apa gerangan yang mengikuti kami? Apakah benar itu adalah macan? Ataukah… makhluk tak kasat mata?

Ah, sial! Perasaan kami mulai tak tenang. Lututpun masih gemetar. Namun bagaimanapun caranya, kami harus berusaha melenyapkan rasa takut ini. Harus!

Setelah 1 jam berjalan, kami tiba di Puncak Trianggulasi. Kami sedikit lega setiba di tempat ini, karena tak ada lagi suara yang mengusik.

Puncak Trianggulasi

Dari Puncak Trianggulasi, kami kembali menapaki langkah di jalur setapak Merbabu. Selang 15 menit kemudian, tibalah kami di Puncak Kenteng Songo. Yeaaay! Bangga rasanya bisa menjejakkan kaki di 3 puncak Gunung Merbabu. Yah meskipun puncak bukanlah tujuan utama, melainkan kembali ke rumah dengan selamat.

Puncak Kenteng Songo, puncak tertinggi Merbabu (3,142 mdpl)

Angin berhembus semakin kencang. Sembari menunggu teman lain yang berfoto, kami berkumpul. Berdiri rapat membentuk sebuah lingkaran kecil agar mudah berbagi kehangatan. Dinginnya malam membuat sarung tangan tebal dan jaket windproof yang kami kenakan seakan mati fungsi. Lutut kami bergetar hebat dan bibir kami memucat. Asap putih yang keluar dari mulut kami tiup-tiupkan ke kedua tangan agar terasa hangat. Ah, tapi tetap saja terasa dingin.

Yang butuh kehangatan, mari merapaaat 😛

“Duh, gue gede banget ya. Kalian udah kayak anak gue aja. Gue cium nih palanya satu-satu.” Amen memecah hening. Kami semua yang menggigil hebat sontak tertawa mendengar banyolan si pemilik tubuh paling besar di antara kami semua.

Kemudian, semua mata memandang penuh harap ke arah Amen. Karena memiliki tubuh besar, ia lantas kami jadikan tameng untuk menghalau terpaan angin malam itu. Beruntung, Amen hanya tertawa pasrah sambil mendekap kami semua yang berdiri rapat dalam lingkaran. Persis seperti adegan Baymax saat memeluk Hiro, hahaha.

Dingin yang begitu menusuk menuntut kami untuk segera melanjutkan perjalanan turun ke Basecamp Selo. Jalur ini luar biasa kemiringannya! Kami turun dengan sangat hati-hati karena trek begitu landai.

“Injek rumput deh, biar nggak kepeleset.” Adit memberi tips pada Karey dan aku agar tak terjungkal menuruni jalur. And yeah, it works! Tak sekalipun kami terjungkal, ya meski sesekali terpeleset sih. Hehe.

Usai melewati Jemblongan, kami tiba di Sabana 2. Tenda berwarna-warni terlihat rapi menghiasi jalur ini. Tiba-tiba kami teringat bahwa teman kami, Uda Faiz, mendirikan tenda di sini. Ia mengatakannya ketika kami bertemu di Stasiun Senen. Tujuan kami memang sama, Gunung Merbabu. Hanya saja Uda Faiz lebih memilih untuk kemping, sedangkan kami memilih untuk tektok.

“Uda Faiz! Uda Faiiizzz!” Yusen meneriakkan nama Uda Faiz, dengan harapan bisa mendapatkan semangkuk mie instan dan segelas kopi hangat. Alief dan Ijal tak mau ketinggalan. Mereka ikut meneriakkan nama Uda Faiz. Kami yang berjalan di depan, spontan tertawa melihat tingkah mereka.

Di tengah Sabana 2, ada sebuah tanah lapang yang akhirnya kami jadikan tempat untuk merebahkan tubuh. Flysheet digelar. Kemudian, masing-masing dari kami segera meringkuk dalam survive lite. Mencoba memejamkan mata dan membunuh hawa dingin yang menyerang. Kami tertidur dalam buaian langit malam yang berselimut bintang. Sedangkan Yusen, Alief, dan Ijal yang baru saja tiba karena menghampiri tenda Uda Faiz, memilih duduk menghadap api unggun sambil bersenda gurau dengan Bang Maman yang masih terjaga.

Meringkuk dalam survive lite 😀

Kami dipaksa untuk kembali membuka mata setelah beristirahat kurang lebih 1 jam. Kuseka kedua mataku, kemudian kupandang jam yang bertengger di pergelangan tangan kiriku. Ah, masih jam 12 dini hari. Survive lite kutarik kembali dan aku segera meringkuk di dalamnya. Tapi kemudian, Karet mengguncang-guncang tubuhku agar segera bangun karena perjalanan akan dilanjutkan kembali.

Dengan gontai aku berjalan menuju tepian flysheet sambil melipat kembali survive lite yang baru saja aku gunakan. Ada Yusen di sana. Tidur meringkuk, mendekap rapat kedua lututnya tanpa balutan survive lite.

Tiba-tiba saja, ia berdiri dan menggigil begitu hebat. Giginya bergemelutuk tak terkendali dan matanya terpejam erat menahan gigil di sekujur tubuh.

“Yusen… Yusen…” kami panggil namanya.

Kami segera menghampiri dan memeluknya erat sembari mengguncang-guncangkan tubuhnya. Sarung tangannya segera kami tanggalkan, lalu kami genggam dan usap-usap setiap jemarinya agar kehangatan tubuh kami cepat mengalir ke tubuhnya.

“Yusen… Yusen…” kami terus memanggil namanya. Namun, Yusen tetap diam. Tubuh dinginnya masih gemetar dengan hebat.

Kami tetap berusaha berbagi kehangatan tubuh dengan Yusen. Mendekapnya dan mengusap-usap tangannya. Yusen, lekas buka matamu! Cepat ngelawak lagi, kami mau dengar suara cemprengmu! Yusen…

“Ini pada kenapa sih? Brrr brrr… Dingiiiin.” Tiba-tiba saja Yusen membuka suara.

Kami saling bertatapan satu sama lain, kemudian menoleh ke arahnya.

“Anjriiitttt! Sueeeekkk! Kita beneran panik tau! Lo nggak apa-apa kan?” tanya kami.

Yusen kemudian menyengir lebar, mengisyaratkan dirinya baik-baik saja. Kami tertawa lega. Ingin sekali menoyor kepalanya karena telah membuat kami begitu khawatir akan kondisinya. Syukurlah, tim medis kebanggaan kami ini baik-baik saja.

Semua sudah selesai merapikan survive lite masing-masing, flysheet pun telah dilipat. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini tanpa istirahat.

Jam setengah enam pagi, kami tiba di Basecamp Selo. Waktu yang tersisa tak begitu banyak. Karena itu, kami tak memaksakan diri untuk melakukan tektok Merapi.

Bangga pakai produk Indonesia. Swallow! 😛

Akhirnya, kami memilih menghabiskan waktu untuk sekadar menikmati sarapan nasi goreng hangat dan bercengkerama sembari melakukan “bully-bully sayang” ─sebutan momen bully yang merupakan wujud kasih sayang kepada teman satu tim─ di basecamp.

***

Dalam perjalanan kembali ke Jogja, salah seorang teman Karey memberi kabar bahwa Merapi sedang diterjang badai. Kami terkejut, dan tak lupa memanjatkan syukur pada Yang Maha Kuasa karena telah diberikan jalan yang terbaik.

Terima kasih untuk pendakian penuh canda tawa ini, Tektok Team Gesrek! Terima kasih, Merbabu!

 


Foto : dokumentasi Tektok Team

 

Recommended Posts