Part 1 : Aku Bukan Bonekamu, Yah

 

“Apa tema buku terbaru Kak Nana? Sepertinya berbau piano ya?” Seorang pembawa acara membuka sesi pertanyaan.

“Iya. Setelah yang pertama tentang seorang remaja yang broken home, kali ini aku bikin buku ilustrasi tentang belajar piano itu menyenangkan. Buku ini berisi teknik bermain piano yang dikemas dengan cara menyenangkan dan penuh ilustrasi.”

“Wow! Seru dong ya. Apa ada hubungannya antara buku pertama dan kedua Kakak?”

“Melalui buku ini, aku mau bilang kalau anak broken home juga bisa berprestasi. Jadi buat teman-teman semua, yuk berhenti melabeli kami dengan berbagai stigma negatif. Karena kami juga ingin diterima oleh masyarakat.”

“Waah sarat makna ya, Kak. Kalau enggak salah, minggu lalu habis konser di Jogjakarta juga kan ya? Kalau boleh tahu, siapa sih yang menginspirasi Kak Nana bermain piano?”

“Iya, minggu lalu habis konser di Jogjakarta bareng Sunshine Orchestra. Salah satu lagu yang aku bawakan berjudul The Moldau karya Bedrich Smetana. The Moldau sendiri mengilustrasikan aliran Sungai Moldau. Lagu ini salah satu lagu favorit ayah. Beliau yang menjadi inspirasiku dalam bermain piano. Satu pesan ayah yang selalu kuingat, jadilah seperti air yang tenang namun menghanyutkan.”

“Wow! Memang orangtua itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan anak ya. Ngomong-ngomong, mumpung ada keyboard di kafe ini, boleh enggak Kak Nana bawain satu lagu untuk kita? The Moldau, mungkin?” Rayu sang pembawa acara.

“Boleh deh. Aku bawakan lagu Fathers and Daughters-nya Michael Bolton, boleh ya? Lagu ini aku persembahkan untuk ayahku dan ayah-ayah hebat di luar sana.”

“…

If there’s a promise that I broke, I know one day you will understand

When times are hard, I know you’ll be strong

I’ll be there in your heart when you’ll carry on

Like moonlight on the water and sunlight in the sky

Fathers and daughters never say good bye

…”

Michael Bolton – Fathers and Daughters (Never Say Goodbye)

Permainan pianoku belum usai. Mataku mencari ayah di bangku tamu undangan. Namun, ia telah pergi. Ayah, apakah ayah melihat lagu persembahanku untukmu?

***

“Selamat ya Na, peluncuran buku kamu tadi sukses! Ayah bangga sama kamu.” Ayah mengetuk pintu. Ia kemudian menyembulkan kepalanya di pintu kamarku. Tumben sekali. Biasanya ia menungguku memperbolehkannya masuk, baru membuka pintu.

“Thanks, Yah. A…, apa tadi ayah lihat permainan pianoku?” Aku bertanya pada ayah dengan terbata-bata.

“Ayah lihat kok. Tapi tadi mata ayah kelilipan debu, jadi ayah izin ke toilet…”

“Kelilipan debu atau ayah nangis?” Aku memancing ayah sambil menyengir lebar memandangnya.

“Hmm… Ayah kasih tahu nggak yah… Hahaha.” Ayah tertawa, yang membuatku juga tertawa.

Ayah, terima kasih ya. Aku bisa seperti ini karena ayah. Meski harus kuakui aku pernah sangat membenci ayah. Aku benci kalau ayah membentakku. Aku benci saat ayah memaksaku latihan piano. Aku benci saat ayah mengatur jadwal piano tanpa bertanya padaku. Aku benci saat ayah menyuruhku menjadi pianis seperti ayah. Aku benci saat ayah bercerai dengan ibu… Tapi… Ah, akhir-akhir ini ingatan tentang masa lalu seringkali berputar di kepala. Seiring dengan peluncuran karya terbaruku.

“Ibu, kemarin malam aku bilang ke ayah mau jadi ilustrator.” Aku menelepon ibu.

“Terus?” Jawab Ibu.

“Ayah mau aku jadi pianis, bukan ilustrator…”

“Nana coba lagi ya, Nak… Ibu yakin ayah pasti ngizinin kok.”

“Kenapa ibu bisa seyakin itu? Kemarin ayah bilang nggak mau aku jadi anak desain yang amburadul.”

“Pasti diizinin kok, kalau Nana memang serius ingin jadi ilustrator. Mungkin Nana benci sama ayah karena selalu menyuruh Nana latihan piano. Tapi itu untuk kebaikan Nana. Supaya Nana punya bekal di masa depan. Ayah mati-matian cari uang supaya Nana bisa sekolah, bisa les pelajaran, bisa les piano sampai jago kayak sekarang. Itu semua berkat ayah lho.”

“Iya, tapi…”

Apa aku harus bilang lagi pada ayah? Apa ayah akan mengizinkanku menjadi ilustrator? Atau jangan-jangan ayah akan memarahiku lagi? Aku… Takut…

Dua minggu setelah kejadian itu, aku mencoba lagi berbicara pada ayah. Malam itu hari ulang tahun ayah. Aku akan memberinya kejutan berupa gambarku. Sekali lagi saja, aku akan berusaha mencoba…

Media: cat air pada kertas

“Selamat ulang tahun, Ayah. Ini kado dariku.” Aku memeluk ayah, meski rasanya begitu canggung. Aku tak pernah melakukannya lagi sejak ayah dan ibu bercerai.

“Boleh ayah buka?”

Aku mengangguk, berharap ayah senang. Tapi tiba-tiba, ayah melempar pigura yang berisi ilustrasi buatanku. Aku kesal. Marah. Semua emosi berkecamuk dan seakan meluap dalam dada. Ayah…? Cukup, Yah! Cukup! Aku muak dengan semuanya! Aku muak!!!

Aku meninggalkan ayah menuju kamar. Aku sudah geram. Aku muak. Marah. Semua rasa itu bercampur dan membuat dadaku lagi-lagi terasa sesak. Aku mengambil cutter dan menyayat pergelangan tangan kiriku. Rasa sakit itu masih begitu menyesakkan. Kali ini, aku menyayat pergelangan tangan kananku. Ah… Rasa sakit di dadaku sedikit berkurang. Berpindah ke kedua pergelangan tanganku… Tapi tetap saja…

“Nana! Kamu darimana jam segini baru pulang?! Sudah seminggu sejak ayah ulang tahun, kamu selalu pulang malam. Mau jadi apa kamu?!” Ayah bertanya padaku dengan nada suara tinggi.

Aku malas ribut… Aku lelah…

“Dari rumah temen.” Aku menjawab seadanya.

“Kenapa enggak ngabarin ayah?! Lihat, ini sudah tengah malam! Kamu juga enggak les piano kan tadi?” Nada suara ayah masih tinggi.

“Aku gambar di sana! Lagipula, peduli apa ayah sama hidupku?!” Suaraku bergetar. Ah, aku harus bergegas pergi dari sini. Aku enggak boleh nangis di depan ayah.

Plaaaak!

Ayah menamparku. Ugh! Sakit! Sakit sekali rasanya. Bukan. Bukan di pipi. Lagi-lagi dadaku terasa sesak.

Aku berlari ke kamar. Kukunci pintu kamarku. Kusayat pergelangan tangan kanan dan kiriku berkali-kali, tapi rasa sakit itu tak kunjung hilang. Kenapa? Kenapaaa?!

Media: pensil pada kertas

Aku terbangun. Ah, aku ketiduran ya setelah bertengkar dengan ayah? Kepalaku pusing. Darah di pergelangan tanganku telah berhenti mengalir. Aku berjalan gontai ke pintu kamar. Aku haus.

“Ayah, lihat! Nana sudah lulus SD. Sebentar lagi ia akan jadi seorang remaja. Enggak terasa ya?”

Suara itu… Suara ibu?

Aku berjalan menuruni tangga sambil memegangi kepalaku yang terasa berat. Apa aku berhalusinasi mendengar suara ibu? Mataku terbelalak. A, ayah?! Sedang apa dia? Menonton video? Ah, itu aku dan Frans saat masih kecil…

Ayah sepertinya mendengar suara langkah kakiku. Ia mematikan televisi dan berpura-pura mencorat-coret buku partiturnya. Samar-samar terlihat. Ada sebuah gambar karikatur di sana… Ayah?

“Kenapa kamu belum tidur? Ini udah jam 2 pagi.” Ayah membuka pembicaraan.

Aku diam, terlalu malas untuk menjawab.

“Tanganmu kenapa?” Tanya ayah lagi.

Aku terkejut. Astaga! Aku lupa membersihkan darah di pergelangan tanganku!

“Enggak apa-apa.” Jawabku singkat.

Ayah masih diam. Aku tahu wajahnya menyiratkan tanda tanya. Tapi, apa peduliku? Ia saja tak peduli denganku. Aku bergegas mengambil sebotol air minum, lalu kembali ke kamar.

“Nana kenapa? Kemarin ayah cerita tangan kamu berdarah. Kamu habis ngapain?” Ibu bertanya di telepon.

“Enggak apa-apa, Bu.” Aku mengelak.

“Bener nggak apa-apa? Udah coba ngomong lagi ke ayah, kamu mau kuliah jurusan DKV?”

Deg!

“Belum, Bu…” Aku terkejut mendengar perkataan ibu. Apa ayah belum cerita ke ibu ya?

“Nanti cerita ke ibu ya. Biar ibu yang marahin ayah kalau enggak mengizinkan kamu jadi ilustrator.”

“Hahaha, baik, Bu.” Aku menutup telepon. Untung saja ibu tidak bertanya lebih jauh mengenai darah di tanganku.

Tok tok tok.

“Na, ayah masuk ya?” Ayah segera membuka pintu kamarku dan meletakkan selembar kertas di meja belajarku. Ia kemudian beranjak pergi.

Aku diam. Masih malas berbicara dengan ayah. Tapi, aku penasaran dengan selebaran itu. Aku berjalan mendapatinya. Apa ini? Lembar pendaftaran calon mahasiswa jurusan DKV?

Aku bergegas menuruni tangga, hendak menemui ayah yang sedang bermain piano. Ah, Fathers and Daughters Michael Bolton mengalun lembut dari tarian jari-jemari ayah.

“Ayah!” Aku memanggilnya. Wajahnya seketika kaku. Permainan pianonya terhenti.

“I, ini apa? Apa aku boleh kuliah jurusan DKV?” Aku berusaha menahan diri untuk terlihat senang. Belum tentu aku diizinkan, kan?

“Terserah kamu.” Ayah kembali melanjutkan permainan pianonya.

“Serius? Te… Terima kasih, Yah!” Lagi, aku canggung. Aneh rasanya mengucapkan terima kasih dan maaf karena ayah saja jarang mengucapkan kata-kata itu padaku.

Aku berlari ke kamar, mendapati gawaiku yang bertengger manis di atas tempat tidur.

“Ibu, ayah memperbolehkanku kuliah jurusan DKV!” Penuh antusias, aku berbicara dengan ibu.

“Tuh kan, apa ibu bilang pasti dibolehin. Ayah kamu kan dulunya juga suka gambar.” Timpal ibu.

“Ayah suka gambar?” Tanyaku memastikan.

“Iya, dan gambarnya bagus. Sayangnya memang enggak diterusin sih.”

“Kenapa, Bu?” Tanyaku lagi.

“Coba kamu tanya ayah aja.”

“Mana mau ayah cerita. Kita aja jarang ngobrol.” Seketika aku merasa kosong. Ya, kalau dipikir-pikir, aku jarang sekali berbincang-bincang dengan ayah.

“Hahaha, kalian berdua tuh mirip. Coba Nana sekali-kali jadi air, jangan jadi api melulu ngadepin ayah.”

“Maksudnya gimana, Bu?”

“Yowis, kamu pikirin deh tuh omongan ibu. Ibu mau pergi dulu. Teleponnya ibu matiin ya.” Tut tut tut…

Yah, diputus. Air…? Api…? Apa sih maksud ibu?

Aku berjalan lagi ke lantai bawah. Ayah masih menyanyikan lagu yang sama. Dan lagi-lagi, permainannya terhenti saat melihatku.

“A, ayah, a, aku sudah isi formulir pendaftarannya.” Aku membuka percakapan, canggung.

“Ya sudah, besok ayah antar kamu ke kampus. Janji kuliah yang bener ya.”

“Yah…, apa bener dulu ayah suka gambar juga? Aku lihat beberapa gambar ayah di beberapa lembaran buku partitur.”

“Ini pasti ibu kamu yang cerita ya?” Ayah berbalik bertanya.

“Aku lihat sendiri saat ayah sedang nonton video waktu itu. Ada gambar karikatur seorang konduktor memegang baton di buku partitur ayah.”

“Kalau ayah cerita, kamu mau janji satu hal ke ayah?”

“Janji apa, Yah?”

“Janji untuk tidak lagi menyakiti dirimu dengan cutting. Ya?”

Aku terdiam dan menunduk. Jadi, ayah tahu?

“Mungkin ayah selama ini terlalu keras padamu. Ayah minta maaf. Tapi itu semua karena ayah sayang sama kamu. Hidup itu enggak gampang, Na. Untuk sukses, ada banyak hal yang harus kamu lalui. Ayah melihat bakatmu. Ayah mau tahu sekeras apa kamu mempertahankan keinginanmu untuk jadi ilustrator. Dan ternyata, kamu tetap kekeuh dengan pendirianmu…

Ayah akui, dulu ayah juga suka menggambar. Tapi tidak didukung oleh almarhum kakek. Semua alat gambar ayah dibuang. Ayah memilih piano pada akhirnya. Ayah bisa jadi pianis sukses karena nurut sama kakek. Jadi ayah berpikir kalau kamu nurut, kamu akan bisa seperti ayah. Tapi ayah sadar…”

Aku masih terdiam, menunggu lanjutan cerita ayah.

“Ayah sadar kalau kamu punya jalanmu sendiri. Jadi ayah harap kamu bisa kuliah dengan baik, ya? Dan terima kasih, gambar kamu kemarin bagus kok. I… Itu… Gambarmu ayah pajang di kamar.” Ayah menggaruk kepalanya.

Ayah… Tak satupun kata keluar dari mulutku. Aku enggak pernah tahu kalau masa lalu ayah mirip denganku.

“Ngomong-ngomong, ucapan ayah tadi keren nggak? Keren kan? Hahaha.” Ayah tertawa, membuat tembok pembatas antara ayah dan aku runtuh seketika. Membuat tali-tali yang menyangkut di badan boneka marionette sepertiku putus satu per satu. Seakan sebuah gunting berukuran besar telah memutusnya. Ayah, maafkan aku…

Tahun demi tahun berlalu. Sesuai dengan harapan ayah, aku lulus dengan nilai yang baik dan bekerja sebagai seorang ilustrator. Oh iya, aku juga masih menekuni bermain piano. Meski sekarang aku lebih sering bermain piano pop dan jarang terlibat dalam orkestra musik klasik.

Hari ini hari peluncuran buku ilustrasiku yang kedua. Buku ilustrasi tentang piano yang aku persembahkan untuk pianis terhebat dalam hidupku. Ayah. Aku harap ia juga mendengarkan permainan piano yang akan aku bawakan seusai sesi tanya jawab nanti…

Recommended Posts