Mengenal Jenis Cat Air

Siapa yang mengenal cat air saat duduk di bangku sekolah dasar? Kala itu merek yang umum diperdagangkan ialah Guitar dan Pentel. Melukisnya pun di buku gambar bersampul emotikon senyum. Apakah ada yang bernasib sama? Haha.

Pengalaman pertama menggunakan cat air tidak memberikan kesan yang istimewa bagi saya. Hasil yang didapat rasanya biasa saja. Hingga suatu hari, saya menemukan karya seniman cat air di media sosial dan terpana. Haaah? Ini pakai cat air? Kok bagus banget? Kok bisaaa?

Continue reading

Menelusuri Taman Negara Pulau Pinang

Taman Negara Pulau Pinang terletak di Teluk Bahang. Tepatnya, sudut barat laut Penang dan menghadap Selat Malaka. Bagi penyuka kegiatan outdoor, taman nasional ini bisa jadi pilihan tempat berlibur. Selain lokasinya mudah ditempuh, ia juga menyajikan keindahan hutan, pantai, dan keanekaragaman fauna. Tak ketinggalan juga konservasi penyu.

Taman Negara Pulau Pinang memiliki luas sekitar 2,563 hektar. Dari George Town, Merin dan aku menaiki Rapid Penang 102. Dengan waktu tempuh kurang dari satu jam, kami tiba di taman nasional ini. Ongkos yang dibayarkan juga sangat terjangkau. Hanya 3.5 RM.

Continue reading

Semalam di Hat Yai

Jika berkunjung ke Penang, tak ada salahnya untuk mencoba perjalanan ke Hat Yai. Hat Yai berada di provinsi Songkhla, Thailand Selatan. Provinsi ini berbatasan langsung dengan Malaysia.

Read more: Semalam di Hat Yai

Perjalanan Merin dan aku dimulai dari Bandar Udara Internasional Pulau Pinang. Setibanya, kami membeli perbekalan di minimarket bandara. Karena akan langsung melanjutkan perjalanan ke Hat Yai. Setelahnya, kami keluar dan mencari Rapid Penang. Bus yang bertujuan ke Komtar. Dari sanalah, kami akan berangkat ke Hat Yai menggunakan travel.

Setiba di Komtar, bus travel menuju Hat Yai telah berangkat. Oh tidak tidak, kami terlambat 10 menit! Aaarghh!!!

Nasi sudah menjadi bubur. Karena jadwal keberangkatan berikutnya ialah pukul 15:00, mau tak mau kami harus menunggu 3 jam lagi. Hiks.

Biaya travel ke Hat Yai adalah 35 MYR. Setelah membayar, Merin dan aku berjalan-jalan di area Komtar. Iseng, kami juga memasuki Prangin Mall. Tapi kemudian urung dan melangkah keluar lagi.

“Yakin ke sini mau ngemall?” Tanyaku pada Merin.

“Enggak sih. Ya udah, keluar aja yuk. Hahaha.” jawab Merin.

Kami akhirnya jajan es krim sebagai penawar rasa sedih. Dan, memilih makan siang di terminal. Ada berbagai menu ditawarkan. Nasi kandar, nasi lemak, dan prasmanan. Uniknya, di sini juga dijual berbagai kue basah. Seperti kue cucur, cincin, juga dadar gulung.

Menurut informasi yang kami peroleh, perjalanan menuju Hat Yai cukup memakan waktu. Kurang lebih 3 hingga 4 jam. Di mini van, kami mendapat selembar arrival card. Sama seperti perjalanan ke Thailand sebelumnya, kami harus mengisi pertanyaan yang tertera di sana. Dimana akan menginap, berapa hari, berapa jumlah uang yang dibawa, dan sebagainya.

Setelah kurang lebih 2.5 jam perjalanan, kami tiba di kantor imigrasi Sadao. Sadao merupakan daerah perbatasan Thailand dan Malaysia. Di sini seluruh penumpang harus turun untuk mengantri cap paspor. Tak terkecuali Merin dan aku. Tak lupa, kami juga menyerahkan arrival card.

Perjalanan masih panjang. Kira-kira 1 jam lagi. Cacing-cacing mulai menabuh dinding lambungku. Lapar rasanya. Aku kemudian merogoh isi carrier. Mendapati roti yang telah dibeli di Bandara Penang.

“Kalau tadi dapat travel siang, bisa kelaparan kita di jalan. Empat jam cooy. Nenggak promag dah.” Kataku pada Merin.

“Iya, tapi kalau malam kita juga enggak bisa banyak eksplore Hat Yai cuy.” Balas Merin. Kami lalu tertawa. Yah, sama-sama ada enggak enaknya sih.

Hat Yai

Setiba di Hat Yai, sopir travel mengantar penumpang satu per satu. Karena cukup jauh, Merin dan aku diantar terakhir. Kami diantar hingga Silla House. Hostel yang akan menjadi tempat menginap kami malam itu.

Usai late check in, Merin dan aku menuju kamar untuk meletakkan barang. Kamar berada di lantai 3 dan kami harus naik dengan tangga. Ternyata sedang ada 2 perempuan bersenda gurau di lantai 2. Mereka adalah pelancong dari negeri jiran, Malaysia.

“Hello”, sapa Merin dan aku. Mereka membalas. Kemudian, kami bercakap-cakap. Mulai dari membahas rencana perjalanan hingga bertukar cerita tentang masing-masing negara asal.

“Penang – Hat Yai – Langkawi – Penang? Kenapa rancangannya pusing-pusing?” Tanyanya dengan Bahasa Melayu.

Aku dan Merin nyengir. “Is that possible?” Tanya Merin kemudian.

Mereka masih terheran-heran dengan itinerary yang kami buat. Meski demikian, mereka tetap memberi banyak masukan. Juga, menyarankan untuk bertanya pada pemilik hostel. Barangkali ia lebih paham mengenai waktu dan rutenya. Karena perjalanan kami esok hari sangat berpacu dengan waktu.

Usai berbincang-bincang, Merin dan aku meletakkan carrier di kamar. Lalu, kami keluar untuk mencari makan malam. Kami berjalan mengikuti kemana langkah kaki menuntun. Tanpa google maps. Tentu saja karena belum mempunyai lokal SIM. Beruntung di Niphat Phakdi Alley kami menemukan Seven Eleven dan penjual makanan. Bahkan, ada toko seluler juga di sana. Yaay!

Toko seluler terletak persis di samping Seven Eleven. Harga yang ditawarkan cukup mahal. Kami harus membeli lokal SIM. Juga, paket data internet untuk pemakaian selama 24 jam. Ternyata keduanya dijual terpisah. Karena itu harganya menjadi 140 THB.

Pembelian lokal SIM ini berjalan cukup lama. Hampir 30 menit. Kenapa? Karena sang penjual tidak bisa berbahasa Inggris dan Melayu. Sedangkan Merin dan aku tidak bisa berbahasa Thailand. Kecuali Sawaddi Ka dan Khop Kun Ka.

Usai membeli lokal SIM, kami membeli makan malam. Lalu, kembali ke hostel untuk menyantapnya. Setelah mencuci piring yang digunakan untuk makan, kami keluar hostel lagi. Menikmati kehidupan kota Hat Yai di malam hari.

Pagi menjelang. Tak terasa jam hampir menunjukkan pukul 07:30. Aku berjalan gontai ke beranda hostel. Menyesap udara pagi Kota Hat Yai. Tiba-tiba, pandanganku teralihkan oleh aktivitas di seberang jalan. Seorang pegawai klinik hewan tengah bebersih. Mungkin klinik akan segera dibuka. Di sebelahnya, toko penjual makanan pun mulai didatangi pembeli.

Karena tertarik melihat aktivitas lainnya, aku pun mandi. Lalu, berjalan keluar hostel.

“After come back from Municipal Park, we will take you to the bus station. From there, you’ll go to Tammalang Pier by travel. It takes around 2 hours. The ferry will depart maybe around 3:00 PM. So, remember to come back here at 12:00 PM. Don’t be late, okay?”

Aku telah kembali ke hostel. Jam kini tengah beranjak ke pukul 9:00. Merin dan aku mendapatkan motor sewaan seharga 250 THB. Kemudian, kami dijelaskan bagaimana cara menuju Pelabuhan Tammalang di Satun. Oh iya, kami juga mendapat fasilitas pengantaran gratis ke terminal bus Hat Yai. Karena hanya menyewa motor selama 2 jam.

Hat Yai Municipal Park

Hat Yai Municipal Park terletak di Kanchanawanit Rd., Kho Hong, Hat Yai, Songkhla 90110, Thailand. Waktu tempuh dari Silla House kurang lebih 25 menit dengan motor. Lalu, berapa biaya yang dipungut untuk masuk ke dalam taman ini? Tidak ada alias gratis.

Karena diperbolehkan berkeliling dengan kendaraan sendiri, Merin dan aku memilih naik motor. Di pelataran parkir, beberapa shuttle songthaew berbaris. Hmm… Lalu, ada apa saja sih di tempat ini?

The Great Brahman Shrine

Dari pintu masuk, kami mengikuti papan petunjuk melewati jalur yang berliku-liku. Di kanan kiri pepohonan rimbun mengantar perjalanan kami. Tak lama, telihat sebuah pelataran. Merin kemudian memarkirkan motor. Lalu menaiki satu per satu anak tangga yang ada. Di sebelah kanan, menara cable car menjulang. Tapi, aku tak menemukan pintu masuknya.

Kami kembali menaiki anak tangga. Setiba di bagian atas, lagi-lagi kami bertemu dengan pelataran. Di sebelah kiri sebuah patung gajah berkepala tiga menyambut kami. Di Thailand, gajah ini dikenal dengan nama Erawan. Sedangkan dalam mitologi Hindu, ia dikenal dengan nama Airawata. Yang merupakan tunggangan Dewa Indra

Lagi, kami menaiki tangga hingga tiba di The Great Brahman Shrine. Di sini, terdapat Four Faced Buddha.

Di Thailand, Four Faced Buddha dikenal juga dengan Phra Phrom. Dilansir dari Wikipedia, Phra Phrom adalah representasi Dewa Brahma dalam Hinduisme di Thailand. Budaya Thailand memujanya sebagai dewa keberuntungan dan perlindungan.

Wujud Phra Phrom umumnya memiliki empat wajah yang menggambarkan empat masa penciptaan. Delapan telinga yang welas asih mendengarkan doa dari seluruh makhluk hidup. Dan, delapan tangan yang membawa alat-alat keagamaan yang dipercaya memiliki makna khusus.

Meski terik, siang itu pengunjung cukup ramai. Bau dupa perlahan menyesaki hidungku. Para pengunjung terlihat khusyuk. Membakar dupa sembari berdoa dan memohon berkah di hadapan para dewa.

Di sudut lain, segelintir orang membakar petasan merah. Mereka menyalakan sumbu. Kemudian, api merambat dan membakar petasan satu per satu. Suara meletup-letup meramaikan kuil. Asap pun mengepul. Menurut mereka, tradisi ini merupakan wujud penghormatan kepada para dewa.

Phra Buddha Mongkol Maharaj

Bangkok dan Chiang Mai terkenal dengan Reclining Buddha Statue atau Patung Buddha Tidur. Sedangkan Hat Yai terkenal dengan Phra Buddha Mongkol Maharaj. Golden Standing Buddha tertinggi di Hat Yai. Patung yang mengarahkan pandang ke provinsi Songkhla ini memiliki berat 200 ton. Dan berada di ketinggian 25 meter.

“Ternyata di sini toh pintu masuknya.” Aku yang tadi mencari pintu masuk cable car akhirnya menemukannya. Letaknya persis di seberang Phra Buddha Mongkol Maharaj. Jika berjalan dari area parkir, pintunya ada di sebelah kanan. Oh iya, ada harga yang harus dibayar untuk menaikinya ya. Sayang, karena sisa waktu hanya setengah jam, Merin dan aku tidak bisa menaikinya.

Waktu telah menunjukkan pukul 11:15. Kami harus segera kembali ke hostel. Sangat disayangkan, ada banyak objek di taman ini yang tidak bisa kami kunjungi. Hat Yai Deep Sky Observatorium for Science & Astronomy, The Monument of Rama, Guan Yi, Happy Buddha, dan lainnya. Entahlah, semoga saja suatu saat nanti.

Perjalanan yang diburu waktu membuat Merin tancap gas. Sialnya, beberapa kali kami tersasar melewati jalan-jalan kecil. Untung saja, kami bisa tiba sebelum pukul 12:00. Tanpa berlama-lama, kami mengambil carrier dan berpamitan dengan pemilik hostel. Tak lupa untuk berterima kasih. Tanpa bantuan mereka, kami pasti bingung bagaimana mengatur waktu yang sangat mepet ini.

Dengan songthaew, Uncle mengantar kami hingga terminal bus. Karena Merin dan aku tak bisa berbahasa Thailand, beliau berinisiatif memesankan tiket travel di loket. Serta menyampaikan bahwa tujuan kami adalah Pelabuhan Tammalang.

Usai membayar 130 THB dan penumpang telah penuh, mini van melaju. Kurang lebih 2 jam waktu ditempuh untuk tiba di Pelabuhan Tammalang. Tak disangka, kami tiba lebih awal. Kapal penyeberangan ke Langkawi akan berangkat 30 menit lagi dengan biaya 350 THB. Aaah syukurlaaah, kami tepat waktu.

Sekolah Ibu, Apakah Sudah Ramah Gender?

Apa kalian pernah mendengar tentang “Sekolah Ibu”? Apa yang terbersit dalam benak ketika mendengar hal ini?

Sekolah Ibu dibesut oleh Yane Ardian. Beliau ialah Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Kota Bogor. Sekolah ini resmi dibuka bulan Juli 2018. Karena sukses, Hengky Kurniawan selaku Wakil Bupati Kabupaten Bandung Barat berniat mengikuti jejaknya.

Continue reading

Salahkah Aku?

Kemana gentar ini mengadu ketika mereka sibuk mengolok-olokku?

Dibasung raga berujung tumbang, dicucuk rokok menetap perih

Aku berjalan terseok-seok di atas tanah basah. Kaki kanan bagian depanku patah. Terserempet motor dua atau tiga bulan yang lalu. Tak ada yang peduli. Aku harus tetap berjuang sendiri.

Continue reading

Pengalaman Discovery Scuba di Amed

Pulau Bali sebagai destinasi wisata menawarkan berbagai kekayaan. Baik budaya, alam, kuliner, dan keramahan warga lokalnya. Tak ketinggalan juga keindahan bawah lautnya. Nah, kalau Bali, pasti tahu dong ya? Kalau Amed, ada yang sudah pernah dengar?

Amed terletak di Desa Karangasem, Bali Timur. Desa ini terkenal dengan diving spot-nya yang indah. Untuk mencapainya, dibutuhkan kurang lebih tiga jam perjalanan darat dari Bandara Ngurah Rai.

Continue reading

Cat Cafe, Tempat Bersantai di Penghujung Hari

Walkin’ thru the sleepy city
In the night it looks so pretty
Till I got to the one cafe
That stays open night and day… ♪

The Rolling Stones – Sleepy City

Bulan mengintip malu di sela-sela dedaunan. Gelap merekat ke sisi. Jarum jam belum melewati angka 10. Tetapi, kondisi jalan sudah terlihat sepi. Hanya satu dua kendaraan bermotor yang lewat. Juga, sebuah warung makan yang riuh dengan canda tawa sekumpulan anak muda.

Continue reading

Mengenal Candu di Hall of Opium

“Our greatest glory is not in never falling, but in rising everytime we fall”

-Confucius, Chinese philosopher-

Perjalanan menyeberangi Sungai Mekong telah usai. Setibanya di Thailand, paspor kami dikembalikan oleh operator boat. Dengan mereka pula aku bertanya bagaimana cara menuju Hall of Opium. Museum yang mengabadikan sejarah kelam budidaya opium dan perdagangan narkoba di Golden Triangle.

Continue reading

Aku Pasti Bisa, Ayah!

Part 1 : Aku Bukan Bonekamu, Yah

 

“Apa tema buku terbaru Kak Nana? Sepertinya berbau piano ya?” Seorang pembawa acara membuka sesi pertanyaan.

“Iya. Setelah yang pertama tentang seorang remaja yang broken home, kali ini aku bikin buku ilustrasi tentang belajar piano itu menyenangkan. Buku ini berisi teknik bermain piano yang dikemas dengan cara menyenangkan dan penuh ilustrasi.”

“Wow! Seru dong ya. Apa ada hubungannya antara buku pertama dan kedua Kakak?”

“Melalui buku ini, aku mau bilang kalau anak broken home juga bisa berprestasi. Jadi buat teman-teman semua, yuk berhenti melabeli kami dengan berbagai stigma negatif. Karena kami juga ingin diterima oleh masyarakat.”

Continue reading